Tuesday, 7 April 2015

Wahabi Membida'ahkan Wahabi







Entah sudah berapa ulama dari golongan Salafy yang akan masuk ke neraka kerana telah berbuat bid’ah & dihukumkan bid’ah (kesesatan yang berhujung pada neraka) oleh Ulama Salafy Sendiri

Gampang & entengnya menuduh bid’ah (sesat & pelakunya masuk neraka), syirik, khurafat bahkan kafir kepada saudara muslim, atau bahkan para ‘alim ulama, yang kemudian di ikuti (taqlid buta) oleh para jamaahnya tanpa memeriksa dengan seksama, menasihati dengan baik atau bahkan menganggap buta mata hati saudara muslimnya, hingga akhirnya Allah membalas mereka yang telah berbuat zalim, tuduhan fitnah yang keji & kejam, tak hanya kepada sesama jamaahnya akan tetapi telah sampai tahap antara ulama mereka sendiri. Inilah akibat memisahkan diri dari jemaah mazhab, ahlusssunnah wal jama’ah. berikut perbezaan fatwa dan pendapat mereka yang telah menjurus kepada pembid’ahan. Lihatlah ulama – ulama yang di nilai akan masuk neraka kerana telah berbuat sesat (bid’ah) oleh ulam Salafy sendiri kerana fatwa – fatwanya.

1. UTSAIMIN DINILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI KARENA MENSUNNAHKAN AZAN JUM’AT 2 KALI

al-Albani dalam kitabnya al-Ajwibah al-Nafi’ah, menilai azan sayyidina Utsman ini sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan.Tentu saja, pendapat aneh al-Albani yang kontroversial ini mendapatkan serangan tajam dari kalangan ulama termasuk dari sesama Wahhabi. Dengan pandangannya ini, bererti al-Albani menganggap seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh yang telah menyetujui azan sayidina Utsman sebagai ahli bid’ah. Bahkan Ulama Wahhabi yaitu al-’Utsaimin sendiri, sangat marah al-Albani, sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung al-Albani dengan sangat keras dan menilainya tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali:

“ثم يأتي رجل في هذا العصر، ليس عنده من العلم شيء، ويقول: أذان الجمعة الأول بدعة، لأنه ليس معروفاً على عهد الرسول صلي الله عليه وسلم، ويجب أن نقتصر على الأذان الثاني فقط ! فنقول له: إن سنة عثمان رضي الله عنه سنة متبعة إذا لم تخالف سنة رسول الله صلي الله عليه وسلم، ولم يقم أحد من الصحابة الذين هم أعلم منك وأغير على دين الله بمعارضته، وهو من الخلفاء الراشدين المهديين، الذين أمر رسول الله صلي الله عليه وسلم باتباعهم.”

“ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali mengatakan, bahwa azan Jumaat yang pertama adalah bid’ah, kerana tidak dilakukan pada masa Rasul , dan kita harus membatasi pada azan kedua saja! Kita katakan pada laki-laki tersebut: sesungguhnya sunahnya Utsman R.A adalah sunah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul SAW dan tidak di tentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (al-Albani). Beliau (Utsman R.A) termasuk Khulafaur Rasyidin yang memperoleh pentunjuk, dan diperintahkan oleh Rasullah SAW untuk diikuti”. Lihat: al-‘Utsaimin, Syarh al-’Aqidah al- Wasîthiyyah (Riyadl: Dar al-Tsurayya, 2003) hal 638.

2. BIN BAZ DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH UTSAIMIN KERANA MEMBOLEHKAN BERDOA MENGHADAP KUBUR NABI SAW

Para ulama Wahabi Salafy khususnya Utsaimin dalam salah satu kitabnya melarang berdoa menghadap kubur Nabi SAW, akan tetapi hal ini ditolak oleh Bin Baz.

Dalam salah satu fatwa Bin Baz dikutip

Pertanyaan no.624: ”Apakah dilarang ketika berdoa untuk mayat dengan menghadap ke kuburannya?”

Jawaban:”

Tidak dilarang !! Bahkan mendoakan mayat dengan menghadap kiblat atau menghadap kuburnya itu terserah. Kerana Nabi Muhammad saw pernah pada suatu hari setelah prosesi pemakaman beliau berdiri diatas kuburnya dan bersabda:

“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian ini, dan mintakanlah ketetapan imannya, karena dia sekarang sedang di tanyai (oleh malaikat-pen). Dalam kejadian ini Nabi saw TIDAK mengatakan:

“Menghadaplah kalian ke arah kiblat…..!! (kemudian berdoa). Oleh sebab itu, maka semuanya boleh, entah itu menghadap kiblat atau menghadap kuburan. Dan para sahabatpun telah berdoa untuk mayat dengan berkumpul disekitar kuburannya.

3. UTSAIMIN, BIN BAZ & IBNU TAIMIYAH DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI KERANA MENSUNNAHKAN TARAWIH 20 RAKAAT

ALBANI & hampir seluruh jamaah Wahabi – Salafy membid’ahkan perkara sholat tarawih 20 rokaat, sunnahnya 11 rakaat, tapi anggapan bid’ah ini di tepis oleh sesama ulama Salafy sendiri.

#ALBANI

“(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah 11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) kerana mengikuti Rasulullah, maka sesungguhnya beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melebihi 11 rakaat sampai beliau shallallahu alaihi wasallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22).

Derajat hadits 20 rakaat : “Maudlu”. (Silsilah Hadits Dla’if wal Maudlu” dan”Shalat Tarawih” dan “Irwaul Ghalil”- Syekh Albani).

#BIN BAZ

Berikut ini adalah penjelasan Syaikh Ibnu Baz tentang masalah ini:

ومن الأمور التي قد يخفى حكمها على بعض الناس:
ظن بعضهم أن التراويح لا يجوز نقصها عن عشرين ركعة،

“Di antara hal yang hukumnya tidak diketahui oleh sebagian orang adalah anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih itu tidak boleh kurang dari 20 rakaat

.وظن بعضهم أنه لا يجوز أن يزاد فيها على إحدى عشرة ركعة أو ثلاث عشرة ركعة، وهذا كله ظن في غير محله بل هو خطأ مخالف للأدلة.

Demikian pula anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih itu tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Kedua anggapan ini adalah anggapan yang tidak pada tempatnya bahkan keduanya adalah anggapan yang menyelisihi banyak dalil.

وقد دلت الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم على أن صلاة الليل موسع فيها ، فليس فيها حد محدود لا تجوز مخالفته،

Terdapat banyak hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa bilangan rakaat shalat malam itu longgar, tidak ada batasan baku yang tidak boleh dilanggar.

بل ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه كان يصلي من الليل إحدى عشرة ركعة، وربما صلى ثلاث عشرة ركعة، وربما صلى أقل من ذلك في رمضان وفي غيره.

Bahkan terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat malam sebanyak 11 rakaat dan terkadang 13 rakaat. Terkadang pula beliau shalat malam kurang dari 11 rakaat ketika Ramadhan atau pun di luar Ramadhan.

ولما سئل صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل قال: مثنى مثنى ، فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى . متفق على صحته .

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, beliau mengatakan, “Shalat malam itu dua rakaat salam, dua rakaat salam. Jika kalian khawatir waktu subuh tiba maka hendaknya dia shalat sebanyak satu rakaat sebagai witir untuk shalat malam yang telah dia kerjakan” (HR Bukhari dan Muslim)..

ولم يحدد ركعات معينة لا في رمضان ولا في غيره،

Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan jumlah rakaat tertentu untuk shalat malam di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.

ولهذا صلى الصحابة رضي الله عنهم في عهد عمر رضي الله عنه في بعض الأحيان ثلاثا وعشرين ركعة، وفي بعضها إحدى عشرة ركعة،

Oleh kerana itu para sahabat di masa Umar terkadang shalat tarawih sebanyak 23 rakaat dan terkadang sebanyak 11 rakaat.

كل ذلك ثبت عن عمر رضي الله عنه وعن الصحابة في عهده.

Kedua riwayat tersebut adalah riwayat yang sahih dari Umar dan para sahabat di masa Umar.

وكان بعض السلف يصلي في رمضان ستا وثلاثين ركعة ويوتر بثلاث،

Sebagian salaf ketika bulan Ramadhan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat terus ditambah witir 3 rakaat.

وبعضهم يصلي إحدى وأربعين،

Sebagian salaf yang lain shalat tarawih sebanyak 41 rakaat.

ذكر ذلك عنهم شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وغيره من أهل العلم،

Kedua riwayat di atas disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para ulama selainnya.

كما ذكر رحمة الله عليه أن الأمر في ذلك واسع، وذكر أيضا أن الأفضل لمن أطال القراءة والركوع والسجود أن يقلل العدد، ومن خفف القراءة والركوع والسجود زاد في العدد، هذا معنى كلامه رحمه الله.

Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa permasalahan bilangan shalat malam adalah permasalahan yang ada kelonggaran di dalamnya. Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa yang paling afdhal bagi orang yang mampu untuk berdiri, ruku dan sujud dalam waktu yang lama adalah mempersedikit jumlah rakaat yang dia lakukan. Sedangkan orang yang berdiri, ruku dan sujudnya tidak lama hendaknya memperbanyak jumlah rakaat yang dikerjakan. Inilah inti dari perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini.

#Utsaimin

Utsaimin juga mensunnahkan akan tarawih brjumlah lebih dari 20 rakaat.

Tanya : Jika ada seorang shalat tarawih di belakang imam yang melebihi 11 rakaat, haruskah ia mengikuti shalatnya imam ataukah ia berpaling dari imam setelah ia menyempurnakan 11 rakaat di belakangnya ??

Jawab : Sunnahnya dia tetap mengikuti imam walaupun lebih dari 11 rakaat. Kerana jika dia berpaling sebelum selesainya imam dari shalatnya, dia tak mendapatkan pahala qiyamul lailnya. Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai dari shalatnya maka ditulis untuknya pahala shalat lailnya” (HR. Abu Dawud No. 1375, Tirmidzi No. 706).

NOTA: Jika anda ke Mekkah (masjidil Haram) -Madinah (Masjid Nabawi) & hampir seluruh masjid di Saudi melaksanakan tarawih berjumlah 20 rakaat, mungkinkah mereka pelaku bid’ah?

4. UTSAIMIN & IBNU TAIMIYAH DINILAI BID’AH (SESAT) OLEH ULAMA SALAFY KERANA MENGATAKAN MENGIRIM DOA & PAHALA BACAAN QUR’AN UNTUK MAYAT SAMPAI

Dalam banyak artikel di web & buku – buku Salafy, terlihat bahwa tidak sampainya pengiriman bacaan Qur’an & doa kepada mayyat, tetapi hal ini disangkal oleh Ibnu Taimiyah & Utsaimin, berikut pernyataan Utsaimin.

وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان يقرأ و ينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل

“Pembacaan al-Qur’an untuk orang mati dengan pengertian bahwa manusia membaca al-Qur’an serta meniatkan untuk menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa membaca al-Qur’an untuk orang mati MEMBERIKAN manfaat, akan tetapi do’a adalah yang lebih utama (afdlal).”Sumber : Majmu Fatawa wa Rasaail [17/220-221] karya Muhammad bin Shalih al-Utsaimin [w. 1421 H]

Perhatikan, Ibn Taimiyah dalam kumpulan fatwa-fatwanya menyatakan begini: ”Bacaan al-Qur’an yang AKAN SAMPAI (bermanfaat bagi mayat) adalah yang dibacakan ikhlas kerana Allah”. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 300)

Pada halaman yang sama dia juga ngomong begini: ”Barangsiapa membaca al-Qur’an ikhlas karena Allah lalu ia hadiahkan pahalanya untuk mayit maka hal itu dapat memberikan manfaat baginya”. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 300).

Pada halaman lainnya dia menyatakan lagi: “Akan sampai kepada mayit bacaan (al-Qur’an) dari keluarganya, bacaan tasbih mereka, bacaan takbir mereka, dan seluruh bacaan dzikir mereka jika memang mereka menghadiahkan pahala bacaan tersebut bagi mayat itu. Itu semua akan sampai kepadanya”. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 324).

Di halaman lainnya dia berfatwa begini: “Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan jalan usahanya sendiri. Tetapi yang difirmankan oleh-Nya adalah:

وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّمَاسَعَى (النجم: 39)

Yang dimaksud ayat adalah bahwa seseorang tidak dapat MEMILIKI sesuatu apapun dari suatu kebaikan kecuali hasil usahanya sendiri, adapun yang bukan dari usahanya sendiri maka ia TIDAK DAPAT MILIKI-nya. Maka hasil usaha orang lain adalah MILIK orang itu sendiri, bukan milik siapapun. Perumpamaannya pada harta; seseorang hanya dapat MEMILIKI hartanya sendiri, dan ia dapat mengambil manfaat dari harta yang ia MILIKI tersebut, harta tersebut bukan MILIK orang lain, harta dia MILIK dia, harta orang lain MILIK orang lain. Akan tetapi bila seseorang berderma bagi orang lain dengan hartanya tersebut maka tentunya hal itu dibolehkan (dan memberikan manfaat bagi orang lain tersebut). Demikian pula bila seseorang berderma bagi orang lain dengan usahanya maka tentu itu juga memberikan manfaat bagi orang lain tersebut; sebagaimana seseorang akan memberikan manfaat bagi orang lain dengan jalan doa baginya, dan atau dengan jalan bersedekah baginya. Orang yang dituju (dengan doa atau sedekah) tersebut akan mengambil manfaat, dan akan sampai kepadanya segala kebaikan dari setiap orang muslim; baik orang-orang dari kerabatnya atau lainnya (jika memang ditujukan/dihadiahkan/didermakan baginya), sebagaimana seseorang (mayit) mengambil manfaat dari pekerjaan shalat dari orang-orang yang menshalatkannya, dan atau dari doa mereka baginya di sisi kuburnya”. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 367)

Dan pada akhirnya Ibnu Taimiyah menolak anggapan bid’ah & tidak sampainya bacaan Qur’an kepada Mayyit, dan menyerang balik mereka, seperti berikut:

“Para imam telah sepakat bahwa mayat boleh mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”

5. IBNU TAIMIYAH DI NILAI MELAKUKAN BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI, UTSAIMIN, BIN BAZ, DLL KERANA MENGANJURKAN MAULID NABI SAW

Bin Baz, Albani, Utsaimin dan hampir majoriti ulama akhir dari golongan Wahabi – Salafy menyatakan bid’ahnya Maulid Nabi Saw, tetapi hal ini justeru dibantah oleh Ibnu Taimiyah, seperti berikut ini

Ibnu Taymiyah berkata :

فتعظيم المولد واتخاذه موسمًا قد يفعله بعض الناس، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه واله وسلم

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, itu dikerjakan oleh sebagian manusia, dan mereka mendapat PAHALA YANG BESAR kerana tujuan baik dan pengagungannya terhadap Rasulullah SAW”. [Lihat kitab Iqtidha’ Shirathil Mustaqim : 297].

Ibnu Taymiyah juga berkata :

فتعظيم المولد واتخاذه موسماً قد يفعله بعض الناس ويكون لهم فيه أجر عظيم لحسن قصدهم وتعظيمهم لرسول الله صلى الله عليه وسلم

“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, itu dikerjakan oleh sebagian manusia, dan mereka mendapat PAHALA YANG BESAR kerana tujuan baik dan pengagungannya terhadap Rasulullah SAW”. [Lihat kitab Majmu’ Fatawa 23: 134].

6. BIN BAZ & ALBANI DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH UTSAIMIN & IBNU TAIMIYAH, KERANA MEMBOLEHKAN BERDOA SETELAH SHOLAT FARDHU

Pendapat Albani

Albani menghasankan hadits berdoa setelah sholat fardhu

أيُّ الدُّعاء أسمعُ؟ قال صلّى الله عليه وسلّم: «جوف الليل، وأدبار الصلوات المكتوبة»

“Doa manakah yang paling didengar? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Doa pada sepertiga malam terakhir, dan setelah shalat wajib.” (HR. At Tirmidzi, No. 3499. Syaikh Al Albani menghasankan hadts ini, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, No. 3499)

Pendapat Bin Baz

Dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 11/168, Syaikh Ibnu Baz menjelaskan bahwa berdo’a tanpa mengangkat tangan dan tidak berkumpulan (jama’i), maka tidaklah mengapa. Hal ini dibolehkan kerana terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a sebelum atau sesudah salam. Begitu juga untuk shalat sunnah boleh berdo’a setelahnya kerana tidak ada dalil yang menunjukkan larangan hal ini walaupun dengan mengangkat tangan kerana mengangkat tangan adalah salah satu sebab terkabulnya do’a. Mengangkat tangan tidak dilakukan selamanya, namun dilakukan hanya dalam beberapa keadaan saja kerana tidak diketahui dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau selalu mengangkat tangan dalam setiap nafilah dan setiap perkara kebaikan.

Bantahan Utsaimin & Ibnu Taimiyah

Do’a setelah salam tidak termasuk petunjuk (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (bid’ah). Kerana Allah Ta’ala berfirman,

فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ

“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), berdzikirlah pada Allah.” (QS. An Nisa’ [4] : 103)

Bagi mereka yang disyariatkan setelah shalat adalah membaca dzikir-dzikir ma’tsur, bukan berdoa. Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Imam Asy Syathibi, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan lainnya.

7. IBNU TAIMIYAH DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI, UTSAIMIN, BIN BAZ, DLL KERANA TELAH MEMBAHAGI MAKNA BID’AH MENJADI DUA BID’AH HASANAH/ MAHMUDAH DAN BID’AH SAYYI’AH/MAZMUMAH

Dalam kitabnya Al Ibda’ Fi Kamali As Syar’i Wa Khothoril Ibtida’ Syeh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin berkata :

قوله (كل بدعة ضلالة) كلية, عامة, شاملة, مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم (كل), افبعد هذه الكلية يصح ان نقسم البدعة الى اقسام ثلاثة, أو الى خمسة ؟ ابدا هذا لايصح.

Hadits “KULLU BID’ATIN DHOLALATUN” (semua bid’ah adalah sesat), bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada erti umum yang paling kuat yaitu kata-kata seluruh (Kullu). Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membahagi bid’ah menjadi tiga bahagian, atau menjadi lima bahagian ? selamanya pembahagian ini tidak akan pernah sah. (Syeh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin, al Ibda’ fi Kamalis Syar’iy wa Khothoril Ibtida’ , hal; 13)

Hal ini justeru bertentangan dengan pendapat Ibnu Taimiyah didalam Majmu’ Fatawa :
“DARI SINI DAPAT DIKETAHUI KESESATAN ORANG-ORANG YANG MEMBUAT CARA ATAU KEYAKINAN BARU, DAN MEREKA BERPENDAPAT BAHWA KEIMANAN TIDAK AKAN SEMPURNA TANPA JALAN ATAU KEYAKINAN TERSEBUT PADAHAL MEREKA TAHU BAHWA RASULULLAH TIDAK MENYEBUTKAN NYA, DAN APASAJA YANG MENYALAHI NASH ITU DINAMAKAN DENGAN BIDAH BERDASARKAN KESEPAKATAN KAUM MUSLIMIN, SEDANGKAN SESUATU / PANDANGAN YANG TIADA MENYALAHI NASH TERKADANG TIDAK DINAMAKAN BIDA’H, BERKATALAH IMAM SYAFII’ RAHIMAHULLAH “BIDAH TERBAHAGI DUA YANG PERTAMA BIDAH YANG MENYALAHI ALQURAN, SUNNAH, IJMA’ DAN ATSAR SEBAHAGIAN SAHABAT RASULULLAH SAW MAKA INI DISEBUT SEBAGAI BIDAH DHALALAH, KEDUA BIDAH YANG TIADA MENYALAHI HAL TERSEBUT DIATAS MAKA INI KADANG – KADANG DISEBUT SEBAGAI BIDAH HASANAH BERDASARKAN PERKATAAN UMAR ‘ INILAH SEBAIK2 BIDAH’ PERNYATAAN IMAM SYAFII’ INI ATAU SEUMPAMANYA TELAH DIRIWAYATKAN OLEH ALBAIHAQI DENGAN SANAD YANG SAHIH DI DALAM KITAB MADKHAL” ( MAJMU’ FATAWA JUZU’ 20 HAL 163)

Dan akhirnya Utsaimin membahagi bid’ah menjadi dua bahagian pula, tetapi sayangnya Utsaimin tidak mengikuti pendapat ulama Salaf, Utsaimin membahagi bid’ah menjadi dua bahagian, yaitu bid’ah dunia dan bid’ah akhirat.

8. BIN BAZ DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI & ULAMA SALAFY LAIN KERANA MEMBOLEHKAN ADANYA MIHRAB DI MASJID

Fatwa ini terdapat di Fatawa Lajnah Daimah 6/252-253 terbitan Dar Balansiah, Riyadh KSA cetakan ketiga 1421 H.

المحاريب في المساجد
السؤال الأول من الفتوى رقم ( 5614 )
س: المحراب في المسجد هل كان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟

Mihrab di Dalam Masjid
Pertanyaan pertama dalam fatwa no 5614
Tanya, “Tentang mihrab di dalam masjid apakah itu ada di masa Rasulullah?”

ج: لم يزل المسلمون يعملون المحاريب في المساجد في القرون المفضلة وما بعدها؛ لما في ذلك من المصلحة العامة للمسلمين، ومن ذلك بيان القبلة وإيضاح أن المكان مسجد.
(الجزء رقم : 6، الصفحة رقم: 253)

Lajnah Daimah mengatakan, “Kaum muslimin senantiasa membuat mihrab di dalam masjid sejak tiga masa emas (baca: shahabat, tabiin dan tabi’ tabiin) dan masa-masa sesudahnya dikeranakan adanya manfaat besar bagi kaum muslimin dengan adanya mihrab. Di antara manfaat tersebut adalah menjadi alat bantu untuk mengetahui kiblat dan alat penjelas bahwa tempat tersebut adalah masjid”

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … نائب رئيس اللجنة … الرئيس
عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua Lajnah Daimah, Abdurrazzaq Afifi sebagai wakil ketua dan Abdullah bin Ghadayan sebagai anggota.

Di bantah & di Nilai bid’ah oleh Albani

Albani :

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa mihrab dalam masjid adalah bid’ah. Dan tidak dibenarkan membuatnya dengan maksud untuk kemaslahatan selama hal-hal yang disyariatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam selainnya dapat menggantikan maksud itu dengan mudah dan jauh dari sifat menghias-hiasi masjid. (Silsilah Al Ahadits Adh Dhaifah wal Maudhu’ah 1/639-697 hadits nomor 448-449)

Adapun mihrab di masjid-masjid, secara nyata termasuk perbuatan bid’ah, sebab kami tidak menemukan riwayatyang menunjukkan, bahwa mihrab ada pada masa Nabi saw, bahkan telah diriwayatkan dari Nabi saw :”Jauhilah oleh kalian tempat penyembelihan ini, yaitu mihrab.” Dikeluarkan oleh Baihaqi (2/439) dengan sanad hasan. (ats-Tsamaru al-Mustathab 1/472)

Syaikh Abu Bakar Ath Thurtusi

Di dalam kitabnya Al Hawadits wal Bida’ dengan ta’liq dan tahqiq dari Syaikh Ali Hasan halaman 103 beliau mengatakan : “Dan termasuk bid’ah-bid’ah yang terjadi di dalam masjid adalah adanya mihrab-mihrab. ”

Asy-Syaikh Abdullah Mar’i (murid Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin)

Soal 3: Apa hokum mihrob di masjid-masjid ? Bagaimana pula dengan kubbah-kubbah masjid ? Apakah mihrom masih termasuk bagian dari masjid?

Jawab: Yang benar dalam masalah ini, mihrob termasuk perkara bid’ah. Demikian pula dengan kubah-kubah masjid.

Abdul Hakim Bin Amir Abdat
Dalam bukunya : BID’AH DAN SESATNYA SERTA MAKSIATNYA DALAM MASJID:

1. Membuat mihrab di masjid adalah bid’ah, sesat dan maksiat
2. Meninggikan tempat imam di mihrab masjid adalah bid’ah, sesat dan maksiat

9. ALBANI MENSIFATI IBNU TAIMIYAH DENGAN SIFAT PEMBERANI DALAM MENDUSTAKAN HADITS SOHEH

Ibnu taemiyah telah membawakan salah satu hadis dlm kitabnya minhaj as sunnah 4/86 pada bab keutamaan Ali bin Abi thalib,maka beliau mengklaim bhw hadis tsbt tdk soheh, dgn merujuk kpd pndpt ibnu hazm, inilah perkataannya:

ﻭﺍﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ : (ﻣﻦ ﻛﻨﺖ ﻣﻮﻻﻩ ﻓﻌﻠﻲ ﻣﻮﻻﻩ) ﻓﻠﻴﺲ ﻫﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺤﺎﺡ ، ﻟﻜﻦ ﻫﻮ ﻣﻤﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ، ﻭﺗﻨﺎﺯﻉ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﺻﺤﺘﻪ . . . ]

: Adapun sabda Nabi: brang siapa menjadikan aku (maula) pemimpinnya,maka Ali lah maula (pemimpin)nya” ini bukanlah hadis soheh,tetapi itu hanya riwayat dari para ulama,dan tlh berselisih orang2 dalam kesohehannya-pent.

Kemudian beliuA menuqilkan dari ibnu hazm dgn sangkaannya : telah berkata ibnu hazm bahwa hadis: brgsiapa menjadikan Aku maula, maka Ali lah maulanya,maka hadis ini tdk soheh dari jalan2 orang yg dapat dipercaya-pent.

Komentarku: hadis ini dinyatakan mutawatir oleh dzahabi,walaupun kata maula tdk slalu merujuk dgn erti pemimpin,atau tdk merujuk bhw Ali RA pemimpin lanngsungg setelah Nabi SAW wafat lihat siyar a’lam nubala 8/335.

Al bani membantah Ibnu taemiyah

Berkata albani dalam kitab AS-SOHEHnya 5/263

ﻓﻤﻦ ﺍﻟﻌﺠﻴﺐ ﺣﻘﺎ ﺍﻥ ﻳﺘﺠﺮﺍ ﺷﻴﺦ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻧﻜﺎﺭ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﺗﻜﺬﻳﺒﻪ ﻓﻲ (ﻣﻨﻬﺎﺝ ﺍﻟﺴﻨﺔ) ﻛﻤﺎ ﻓﻌﻞ ﺑﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﺘﻘﺪﻡ ﻫﻨﺎﻙ ] .

: Dan termasuk hal keanehan yg nyata berani2nya syaekhul islam ibnu taemiyah mengingkari hadis ini dan mendustakannya dalam kitabnya minhaj assunah ,sebagamana yg dilakukan pada hadis sblm ini.-pent.

Kemudian di akhir ucpannya, al bani berkata :

ﻓﻼ ﺍﺩﺭﻱ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻭﺟﻪ ﺗﻜﺬﻳﺒﻪ
ﻟﻠﺤﺪﻳﺚ ، ﺍﻻ ﺍﻟﺘﺴﺮﻉ ﻭﺍﻟﻤﺒﺎﻟﻐﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻴﻌﺔ . . .

: Dan aku tidak tau setelah itu atas alasan pendustaan beliau terahadp hadis INI kecuali kecerebohan dan berlebih2n dalam membantah syiah-pent.Maka renungkanlah…!!!

Peringatan penting (WARNING):
Albani tidak menganggap atas pensohehan atau pendoifan hadis dari ibnu taemiyah, malah beliau pun menasihati para pembaca utk tidak mengikuti pensohehan dan pendoifan hadis yg dilakukan ibnu taemiyah, lht perkataan albani dalam TA-LIQNYA TERHADAP KITAB AL KALIMUT TOYIB KARYA IBNU TAEMIYAH, KTB TA’LIQNYA TERSEBUT DINAMAI Soheh al kalimut thoyib, LIHAT UCAPAN ALBANI PADA hal 4 cetakan ke empat tahun 1400 H:

( ﺍﻧﺼﺢ ﻟﻜﻞ ﻣﻦ ﻭﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻩ ﻥ ﻻ ﻳﺒﺎﺩﺭ ﺍﻟﻰ
ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻻﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻻ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺘﺎﻛﺪ ﻣﻦ ﺛﺒﻮﺗﻬﺎ ، ﻭﻗﺪ ﺳﻬﻠﻨﺎ ﻟﻪ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ ﺍﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﺑﻤﺎ ﻋﻠﻘﻨﺎﻩ ﻋﻠﻴﻬﺎ ،ﻓﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺛﺎﺑﺘﺎ ﻣﻨﻬﺎ ﻋﻤﻞ ﺑﻪ ﻭﻋﺾ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﻮﺍﺟﺬ ﻭﺍﻻ ﻓﺎﺗﺮﻛﻪ . . .)

: Aku menasihati kepada siapa pun yg membaca kitab ini, atau kitab yg lainnya untuk tidak terburu2 mengamalkan apa yg ada padanya dari hadis2 kecuali setelah kukuh ketetapan status hadis2 tersebut, dan aku telah dimudahkan jalan dalam hal itu dan lihat komentarku terhadap kitab INI, maka kalau saja hadis itu tsabit maka amalkanlah,dan jika tidak,maka tinggalkanlah .pent. Renungkanlah..!!!

Inti DARI ucapan albani adalah: Rujuklah aku dalam masalah hadis dan jangan merujuk kepada syaekhul islam.

10. IBNU TAIMIYAH & BIN BAZ MENGATAKAN HARAM KEPADA ALBANI, ABDUL BADAWI, ABDURRAHMAN DIMASQIYAH KERANA MENGHARUSKAN ZIARAH KUBUR & UNTUK WANITA JUGA

Fatwa Ibnu Taimiyah menyatakan akan pengharaman ziarah kubur. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid: 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadis yang lemah (Dhaif), bahkan dibikin-bikin (Ja’li) ”. Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadis lemah, bahkan hadis bohong”.

Ungkapan Ibnu Taimiyah ini diikuti secara fanatik oleh Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754.

Ibnu Utsaimin, dalam bukunya berjudul Fatawa Muhimmah, h. 149-150, cet. Riyad, berkata:
“Haram ziarah kubur bagi kaum perempuan, itu termasuk dari dosa besar, sekalipun yang diziarahi makam nabi (Muhammad)”.

Sementara dalam Ahkamul Janaiz halaman 229 : Albani mensunnahkan akan ziarah kubur tak terkecuali untuk wanita, begitu pula perkataan Abdul Azhim bin Badawi Al Khalafi dalam Ahkaamul Janaaiz :

“Ziarah kubur disyari’atkan bagi seorang wanita, KERANA di dalamnya terkandung pelajaran bagi yang hidup, dapat melembutkan hati dan meneteskan air mata serta mengingatkan kita akan kehidupan akhirat, dengan syarat wanita tersebut tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat Allah murka kepadanya. [Lihat Ahkaamul Janaaiz (hal. 179-181), Terj. Al-Wajiz (hal. 376-377), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/401)]”

Lihat pula, dalam situs resmi salah seorang pendakwah Salafy, bernama Abdurrahman Damasyqiyyah, berkata:
“Saya katakan bahwa boleh untuk kaum perempuan untuk ziarah kubur dengan dasar hadits ini……”

Akan Tetapi Ibnu Taimiyah membetulkan kembali apa yang disampaikan tentang ziarah kubur atas anjurannya ziarah dengan kubur dengan syar’ie

Beliau berkata didalam Majmu’atur – nya :

Ziara kubur itu ada 2 macam.

Pertama ziarah secara syar’i dan kedua ziarah bid’ah.

Ziarah syar’i adalah ziarah yang dimaksudkan untuk mengucapkan salam kepada simayat dan mendoakannya. Ziarah semacam ini tidak berbeza dengan menshalati jenazahnya. Maka sunnahnya adalah mengucapkan salam kepada si mayat lalu mendoakannya, baik ia seorang Nabi ataupun bukan.

11. BID’AH & SESATNYA PEMAHAMAN AQIDAH ALBANI, IBNU TAIMIYAH & UTSAIMIN, KERANA BERBEZA DENGAN BIN BAZ & ULAMA SALAFY LAIN

#Masalah: Tentang Sifat-sifat Allah

Dalam hadits yang mengatakan:

سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله

Apakah dengan dasar hadits ini Allah disifati bahwa Dia memiliki bayangan?

Jawab (Ibnu Baz):

Benar (Allah punya bayangan), sebagaimana itu disebutkan dalam hadits. Dalam sebagian riwayat dengan redaksi “Fi Zhilli ‘Arsyihi”, tetapi yang dalam dua kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Muslim) dengan redaksi “Fi Zhillihi”, kerana itu maka Allah memiliki BAYANGAN yang sesuai bagi-Nya; kita tidak tahu tata-caranya, sebagaimana kita tidak tahu tata cara dari seluruh sifat-sifat Allah lainnya, pintunya jelas satu bagi Ahlussunnah Wal Jama’ah (yaitu itsbat/menetapkan saja)”.

Lalu dibantah dan kembali menghukumkan sesat, berikut ini adalah tulisan Ibnu Utsaimin membantah Ibnu Baz; dalam “Syarh al Aqidah al Wasithiyyah”, j. 2, h. 136, dengan redaksi berikut ini:

وقوله: “لا ظل إلا ظله”؛ يعني: إلا الظل الذي يخلقه، وليس كما توهم بعض الناس أنه ظل ذات الرب عز وجل؛ فإن هذا باطل؛ لأنه يستلزم أن تكون الشمس حينئذ فوق الله عز وجل. ففي الدنيا؛ نحن نبني الظل لنا، لكن يوم القيامة؛ لا ظل إلا الظل الذي يخلقه سبحانه وتعالى ليستظل به من شاء من عباده. أ.ه

Tejemah:

Sabda Rasulullah “La Zhilla Illa Zhilluh” ertinya “Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”. Makna hadits ini bukan seperti yang disangka oleh sebagian orang (Ibnu Bas) bahwa bayangan tersebut adalah bayangan Dzat Allah, ini adalah pendapat batil (SESAT), kerana dengan begitu maka bererti matahari berada di atas Allah. Di dunia ini kita membuat bayangan bagi diri kita, tetapi di hari kiamat tidak akan ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah supaya berteduh di bawahnya orang-orang yang dijehendaki oleh-Nya dari para hamba-Nya”.

يقول ابن تيمية في كتابه مجموع الفتاوى الجزء الخامس صفحة 262 ما نصه : ” اما من اعتقد الجهة فان كان يعتقد ان الله في داخل المخلوقات تحويه المصنوعات وتحصره السماوات ويكون بعض المخلوقات فوقه وبعضها تحته , فهذا مبتدع ضال . ”

#Tentang penciuman Allah

Di dalam kitab Masail Al-Imam karya Ibnu Baz, halaman 278 nomer 770 disebutkan :

سؤال: هل يؤخذ من الحديث: ( أطيب عند الله من ريح المسك ) إثبات صفة الشم لله عز وجل؟
الجواب: ليس ببعيد.

Pertanyaan : Apakah boleh disimpulkan dari hadits berikut “ Lebih harum di sisi Allah dari minyak misik “ bahwa Allah memiliki sifat penciuman ? ”

Jawab : “ Tidak jauh “ ( bisa saja sprti itu).

Dan juga pendapat Ibnu Baz ini ditentang habis oleh Utsaimin, dalam catatan kaki kitab tersebut paling bawah disebutkan :

ليس في الحديث صراحة بذالك, وقد يكون ادراك الله لهذه الرائحة عن طريق العلم لا عن طريق الشم فينبغي الامساك.

“ Di dalam hadits tidak ada kejelasan akan hal yang demikian, boleh jadi indera Allah atas bau wangi tersebut dengan cara ilmu-Nya bukan dengan cara penciuman, maka sebaiknya kita diam (tidak membahas atau mentakwilnya) “.

#Bantahan Ibnu Taimiyah Allah di atas langit

Dalam kitabnya Ibnu Taimiyah mengatakan : Adapun orang yang meyakini adanya arah bagi Allah maka jika ia meyakini bahwa Allah ada didalam makhluk, Allah dimuat makhluk , Allah didalam langit, sebagian makhluk ada diatas Allah sebagian lagi ada yang di bawah Allah maka orang itu Ahli Bid’ah yang sesat

#Bantahan Albani Allah di atas langit

Syekh Albani di tanya:

قضية استواء الله على عرشه هل تعني ان الله مستقر بذاته على العرش؟ الشيخ: لا يجوز استعمال ألفاظ لم ترد فى الشرع. لا يجوز ان يوصف الله بأنه مستقر لأن الاستقرار أولا : صفة بشرية، ثانيا لم يوصف بها ربنا عز وجل حتى نقول : استقرار يليق بجلاله كما نقول فى الاستواء، فنحن لا نصف الله إلا بما وصف به نفسه ثم مقرونا مع التنزيل (ليس كمثله شيء وهو السميع البصير)

Pertanyaan:

Apakah yang di maksud Keterangan tentang istiwa’nya Allah atas arasy, itu bermakna bahwa dzat Allah bertempat di atas arasy? Syekh Albani menjawab:Tidak boleh menggunakan lafadz (perkataan) yang tidak bersumber dari syariat, tidak boleh mensifati Allah bahwa DIA mustaqir (bertempat), sebab istiqror “bertempat” itu (1)-sifat kemanusiaan (2)-Allah tidak bersifat istiqror “bertempat” sehingga kami boleh berkata” bertempat yang sesuai dengan kemuliaan dan kesempurnaan-Nya. (Tidak!). Sebagaimana kami berkata tentang istiwa’. Maka kami tidak mensifati Allah kecuali dengan sifat yang di sifati-Nya sendiri, kemudian di gabungkan dengan ayat “tidak ada suatu apapun yang menyerupai-Nya. DIA maha mendengar, maha melihat”.(Mausu’atul Allamah Al imam mujaddidul ashri muhammad nashiruddin Al Albani: 344

12. ALBANI DIRAGUKAN KE IMANANNYA OLEH BIN BAZ KERANA MENGAKUI BUMI INI BERPUTAR

Berkata Syaikh Al bani dalam silsilat al huda wan nur 1/497:
“نحن – في الحقيقة – لا نشك في أن قضية دوران الأرض حقيقة علمية لا تقبل جدلا”.

:Kami “pada hakikatnya” tidak ragu lagi atas kaeadaan berputarnya bumi dengan kenyataan ilmiyah yang tidak boleh di perdebatkan lagi.

Bantahan Bin Baz
Syaikh Ben Baz dalam kitabnya Al adillah an naqliyah wal hissiyah ala imkan as suud ilal kawakib-wa ala jiryanis syamsim-wa sukunil ardli 23-24 -Cet Maktabah Ar riyadl Al hadisah-al bath’ha-Ar riyadl,cetakan ke dua thn 1982 M-1402 H:

“وأما من قال إن الأرض تدور، والشمس جارية، فقوله أسهل من قول من قال بثبوت الشمس، ولكنه في نفس الأمر خطأ ظاهر مخالف للآيات المتقدمات، وللمحسوس والواقع، ووسيلة للقول بعدم جري الشمس؛ فقد أوضح الله في الآيات المذكورات آنفا أنه ألقى الجبال في الأرض لئلا تميد بهم، والميد هو الحركة والاضطراب والدوران، كما نص على ذلك علماء التفسير وأئمة اللغة، وفي تكفير قائله نظر”.

:Adapun orang yang berkata bahwa bumi berputar dan matahari berjalan”,maka ucapannya lebih ringan dari pada orang yang berkata dengan diamnya matahari, tetapi dalam kenyataannya itu adalah kesalahan yang nyata kerana menyelisihi ayat2 yang telah di sebutkan dan juga menyalahi kenyataan yang kita rasakan,dan ucapan itu boleh menarik pada perkataan tidak berjalannya matahari,padahal Allah telah menjelaskan dalam ayat2 yang telah di sebutkan barusan bahwa Allah menetapkan gunung2 di muka bumi supaya bumi tidak [al maid]:bergetar,Al maid ertinya adalah bergerak- bergetar dan berputar”, sebagaimana di katakan oleh ulama tafsir dan ulama lughoh,dan untuk menghukumi kafir orang yang mengatakan itu[bumi berputar],masih perlu peninjauan.

Dan ia berkata pada hal 44-45:

“وأوضحت أيضا بطلان القول بدوران الأرض وحركتها، وأنه خلاف المنقول والمحسوس، ووسيلة إلى القول بوقوف الشمس وعدم جريها، وتوقفت في تكفير قائله”.

Dan aku telah menjelaskan batilnya perkataan orang yang mengatakan Bumi berputar dan bergerak dan sesungguhnya itu menyalahi ayat2 yang telah di nuqilkan dan menyelisihi apa yang dirasakan,dan ucapan itu bisa berdampak pada pernyatan diamnya matahari dan tdk berjalannya matahari,Dan aku tawaquf dalm mengkafirkan orang yang mengatakan itu.

Dan Ia berkata pada hal 73:

“وبينت أني لم أكفر في المقال السابق من قال بدوران الأرض، بل قلت: إن في كفره نظرا، وإليك نص عبارتي في المقال السابق ….. فهذه العبارة صريحة في توقفي عن تكفير من قال بدوران الأرض، للسبب الذي أوضحته في المقال السابق”.

Dan aku telah menjelaskan pada perkataan sebelumnya bahawa Aku tidak mengkafirkan orang yang berkata bumi berputar,tetapi aku cuma berkata “dalam pegkafirannya masih perlu tinjauan”dan engkau boleh lihat ibaratku dalam perkataan sebelumnya…….maka ini adalah ibarat yang jelas dalam masalah tawaqufku atas kafirnya orang yang mengatakan bumi berputar,dgn alasan yang telah aku sebutkan pada perkataan sebelumnya.

13. ALBANI DI NILAI MENYELISIHI SUNNAH & TASYABBUH OLEH ULAMA SALAFY KERANA MENGHARUSKAN MAKAN DENGAN SUDU.

Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitabnya yang mengulas tentang makan pakai sudu berjudul AS-Showaiq fi tahrimil mala’iq, dikatakan Haram makan dengan menggunakan sendok.

Begitu pula Syaikh Hamud al Tuwaijiri dalam kitabnya al Idhah wa al Tabyin hal 184 mengatakan:

حكم الأكل بالملاعق قال الشيخ حمود التويجري – رحمه الله – في كتابه ( الإيضاح والتبيين ) ص 184 ( من التشبه بأعداء الله تعالى استقذار الأكل بالأيدي واعتياد الملاعق ونحوها من غير ضرر بالأيدي)

“Termasuk tasyabbuh dengan para musuh Allah (baca:orang-orang kafir) adalah merasa jijik jika makan dengan tangan dan membiasakan diri makan dengan sudu atau semisalnya padahal tangan tidak bermasalah”.

Bantahan Albani

وخالف في ذلك الشيخ الألباني – رحمه الله – فقال : (السلسلة الضعيفة – (ج 3 / ص 201)( و من الغريب أن بعضهم يستوحش من الأكل بالمعلقة ، ظنا منه أنه خلاف السنة ! مع أنه من الأمور العادية ، لا التعبدية ، كركوب السيارة و الطيارة و نحوها من الوسائل الحديثة ، و ينسى أو يتناسى أنه حين يأكل بكفه أنه يخالف هديه صلى الله عليه وسلم(

Syaikh Al Albani memiliki pandangan yang berbeza. Dalam Silsilah Dhaifah 3/201 beliau mengatakan, “Anehnya ada orang yang merasa tidak nyaman jika makan dengan sudu kerana dia beranggapan bahwa makan dengan sudu itu menyelisihi sunnah. Padahal makan dengan sudu adalah masalah bukan ibadah, bukan perkara ibadah. Makan dengan sudu itu semisal dengan naik kereta, pesawat terbang ataupun sarana transportasi modern yang lain. Orang yang menolak untuk makan dengan sudu lalu beralih dengan telapak tangan itu lupa atau pura-pura lupa bahwa makan dengan telapak tangan adalah menyelisih tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

14. ALBANI DINILAI BID’AH (SESAT) OLEH ULAMA SALAFY KERANA MEMBOLEHKAN BERSYAIR DI DALAM MASJID

Para ulama Salafy sudah umum membid’ahkan bersyair didalam masjid ketika menunggu sholat, tapi apa kata Albani?

Masalah : Hukum membaca syair di dalam masjid

Pendapat Syaikh al-Albani:
Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya (XII/271): ‘Hendaknya dilihat bentuk syairnya. Jika syairnya mengandung pujian kepada Allah dan Rasul-Nya atau mengajak kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, mengajak kepada kebaikan, peringatan, zuhud di dunia maka syair ini adalah termasuk sesuatu yang baik diungkapkan di masjid. Dan selain itu tidak diperbolehkan’. ats-Tsamaru al-Mustathab (11/657)

15. UTSAIMIN & BIN BAZ DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI KERANA MENSUNNAHKAN BERSEDEKAP SETELAH RUKU’

* Syeikh Utsaimin:

Bersedekap adalah Sunnah. Inilah yang dirajihkan. sunnahnya adalah meletakkan tangan kanan di atas hasta tangan kiri, kerana keumuman hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi yang shahih dari riwayat al Bukhari, berbunyi:

“Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat.”

Apabila kamu melihat kepada keumumunan hadits ini, yaitu (فِيْ الصَّلاَةِ) dan tidak menyatakan dalam berdiri, maka jelas bagimu bahwa berdiri setelah ruku’ disyari’atkan bersedekap. Kerana dalam shalat, posisi kedua tangan ketika ruku’ berada di atas dua lutut, ketika dalam keadaan sujud berada di atas tanah, ketika duduk berada di atas kedua paha, dan (dalam) keadaan berdiri -mencakup sebelum ruku` dan setelah ruku`- tangan kanan di letakkan di atas hasta tangan kiri. Demikian inilah yang benar, [Syarhul Mumti’ (3/146)]

* Bin Baz :

Beliau berdalil dengan banyak hadits, salah satunya dibawah ini :

عند النسائي بإسناد صحيح أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا كان قائما في الصلاة قبض بيمينه على شماله

Di dalam sunan Annasaa’i dengan sanad yang shohih disebutkan bahwa Nabi sholollohu alaihi wa sallam jika berdiri didalam shalatnya, ia menggenggam tangan kiri nya dengan tangan kanan nya (ber sendekap).

Hadits ini menurut beliau umum yang mencakup semuanya. Ertinya, kata “berdiri” ini bermakna;

1. Berdiri yang sebelum ruku’.
2. Berdiri yang sesudah ruku’.

Tidak adanya hadits yang menceritakan Nabi atau para Sahabat yang melepaskan tangannya disaat berdiri setelah ruku’ itu bererti hadits diatas sudah mencakup semuanya, yakni mereka menyendekapkan tangannya disaat berdiri dari ruku’ nya itu.

+ Syeikh Albani :
Saya tidak ragu lagi menyatakan, bahwa bersedekap ketika berdiri I’tidal adalah perbuatan bid’ah yang sesat, sebab sama sekali tidak tersebut dalam hadits sholat. Seandainya perbuatan semacam itu benar, nescaya akan ada riwayat yang sampai kepada kami walaupun hanya satu hadits. Padahal sangat banyak hadits-hadits tentang sholat. Juga tidak ada satupun ulama salaf yang mengukuhkan pendapat itu dalam perbuatannya atau tidak pula diriwayatkan dari seorang ahli haditspun mengenai bersedekap ini sepanjang pengetahuan saya.
(Sifah ash-Shalah 139)

Kembali : Syaikh al Albani membantah argumen yang menyelisihi penadapat beliau. Lebih lanjut, lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 138-139.

16. IBNU TAIMIYAH DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH BIN BAZ, ALBANI & ULAMA SALAFY LAIN KERANA MENGIKUT & BERTAQLID HANYA SATU MAZHAB SAJA

Berkata Ibnu Taimiyah dalam alfatawi al misriyah 81;
: “وقول القائل: لا أتقيّد بأحد من هؤلاء الأئمة الأربعة، إن أراد أنّه لا يتقيّد بواحد بعينه دون الباقين فقد أحسن، بل هو الصواب من القولين، وإن أراد أنّي لا أتقيّدبها كلّها، بل أخالفها فهو مخطئ في الغالب قطعًا، إذ الحق لا يخرج عن هذه الأربعة في عامة الشريعة”

DAN PERKTAAN ORANG: “aku tidak akan terikat dengan salah satu mazhab empat”,kalau maksud perkataan tersebut adalah untuk tidak menentukan hanya satu mazhab saja dengan menafikan mazhab lainnya,maka itu benar,malah itu adalah salah satu dari dua pendapat [tentang taqlid],kalau maksud perkataan itu adalah tidak mau terikat dengan mazhab secara keseluruhan, malah dengan menyelisihi semua mazhab yang ada,maka lumrahnya itu menyimpang,malah bukan lumrah lagi tapi pasti menyimpangnya,karena alhaq tidak keluar dari empat madhab ini dalam keumuman syariat.

Ibnu Taimiyah meriwayatkan dari al wazir bin habiroh sebagaimana tercatat dalam kitab beliau yang bernama al musawwadah fi usul alfiqh 96:

“فأما تعيين المدارس بأسماء فقهاء معينين فإنه لا أرى به بأسا، حيث إن اشتغال الفقهاء بمذهب واحد من غير أن يختلط بهم فقيه في مذهب آخر يثير الخلاف معهم ويوقع النزاع فيه؛فإنه حكى لي الشيخ محمد بن يحيى عن القاضي أبي يعلى أنه قصده فقيه ليقرأ عليه مذهب أحمد، فسأله عن بلده فأخبره، فقال له: إن أهل بلدك كلهم يقرءون مذهب الشافعي فلماذا عدلت أنت عنه إلى مذهبنا؟ فقال له: إنما عدلت عن المذهب رغبة فيك أنت، فقال له: إن هذا لا يصلح فإنك إذا كنت في بلدك على مذهب أحمد وباقي أهل البلد على مذهب الشافعي لم تجد أحدا يعبد معك ولا يدارسك، وكنت خليقا أن تثير خصومة وتوقع نزاعا، بل كونك على مذهب الشافعي حيث أهل بلدك على مذهبه أولى، ودله على الشيخ أبي إسحاق وذهب به إليه، فقال: سمعا وطاعة

Dan adapun menetukan madrasah madrasah dengan nama nama ahli fiqh tertentu, maka itu tidak apa apa, sekiranya aktiviti para fuqoha itu dalam satu mazhab dan mereka tidak tercampur dengan ahli fiqih dari mazhab lain yang boleh membuat terjadinya perbezaan di antara mereka dan menjadikan mereka jatuh pada permusuhan,kerana sesungguhnya telah menghikayatkan kepadaku syaikh muhammad bin yahya dari qodli abi ya’la Al hambali : Telah datang seorang faqih pada beliau utk di bacakan [belajar] kitab mazhab imam ahmad,maka Qodli abi ya’la bertanya tentang keadaan mazhab penduduk negrinya, orang tersebutpun bercerita, lalu Abi ya’la berkata:sungguhkeadaan penduduk negrimu bermazhab syafii,kenapa engkau malah mau pindah ke mazhab kami?? Orang itu berkata padanya: sungguh aku mau pindah pada mazhab anda kerana kecintaanku pada anda, Qodi abi ya’la berkata;sungguh hal Ini tidak boleh,kerana ketika engkau berada di negrimu dengan mazhab imam ahmad,dan penduduk disana bermazhab syafii,maka tidak akan ada orang yang mau beribadah bersamamu dan belajar padamu,dan engkau telah mencipta benih permusuhan dan mengarah pada perpecahan,padahal keadaanmu dengan mazhab syafii dengan penduduk negrimu yang bermazhab syafii,itu lebih utama,maka Qodli abi ya’la memberi petunjuk pada orang itu untuk mendatangi syaikh abi ishaq [bermazhab syafii] SUPAYA pergi belajar padanya,orang itu pun berkata; aku mendengar dan aku akan mentaatimu.

17. IBNU TAIMIYAH DINILAI BID’AH (SESAT) OLEH ULAMA SALAFY KERANA MENGATAKAN PAHALA ZIKIR YANG DIBERIKAN KEPADA MAYAT SAMPAI

وَسُئِلَ : عَمَّنْ ” هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ ” حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ .

Ibnu Taimiyah ditanya mengenai hadits “ada yang bertahlil (membaca ‘laa ilaha illallah’) sebanyak 70.000 kali lalu ia menyedekahkannya kepada si mayat, maka itu boleh menyelamatkan si mayat dari siksa neraka”, apakah ini termasuk hadits shahih ataukah tidak? Jika seseorang bertahlil (mengucapkan ‘laa ilaha illallah’) lalu menghadiahkannya kepada mayit, apakah itu sampai kepada mayit (atau tidak)?

فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ . وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .

Ibnu Taimiyah menjawab, “Jika seseorang bertahlil seperti itu sebanyak 70.000 kali atau kurang atau bahkan lebih dari itu, lalu ia hadiahkan kepada mayat, maka Allah akan menjadikan amalan tersebut bermanfaat (bagi si mayat).

No comments:

Post a Comment