RASULULLAH TIDAK MENGERJAKANNYA BUKANLAH DALIL UNTUK MENINGGALKANYA..
"Itu bid’ah, kerana Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengerjakannya.... Itu salah, kerana Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukannya.... Itu sesat, kerana Rasulullah s.a.w. tidak pernah memperbuatnya."
Ungkapan-ungkapan seperti itu mungkin beberapa kali atau sering kita dengar. Tapi benarkah ungkapan seperti itu ? Atau jangan-jangan ungkapan itu ungkapan yang salah ?
Kalimat-kalimat di atas adalah contoh penggunaan ungkapan “Rasulullah s.a.w. tidak pernah mengerjakannya” sebagai dalil untuk menunjukkan berbagai hal yang terlarang.
Dengan demikian, ungkapan tersebut seakan menjadi dalil ijmali, yaitu dalil yang berlaku umum untuk segala hal.
Ungkapan tersebut tidak diungkapkan sebagi dalil tafsili (dalil yang hanya berlaku secara spesifik untuk hal tertentu saja).
Ungkapan tersebut, biasa diperkuat dengan dalil ” bahwa segala sesuatu yang tidak Rasulullah s.a.w. perbuat adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat masuk neraka”
Benarkah demikian ?
Mari kita periksa...
Pertama = dalam Al-Quran.
Yang akan kita temukan dalam Al-Quran adalah “apa yang Rasulullah berikan pada kalian ambillah dan apa yang Rasulullah larang tinggalkanlah (Q.S. Al-Hasyr (59) : 7)”.
Ternyata ayat Al-Quran memerintahkan meninggalkan apa yang Rasulullah s.a.w. larang, bukan yang Rasulullah s.a.w. tidak perbuat.
Kedua = dalam As-Sunnah.
Yang akan kita temukan dalam As-Sunnah adalah “Pertama mencari di kitabullah. Bila tidak ada, maka langkah kedua adalah mencari pula pada sunnah Rasulullah.
Bila pada sunnah Rasulullah s.a.w. tidak ada, maka langkah ketiga adalah berijtihad”
Imam Asy-Syafi’i r.h.l. yang mendapat gelaran kehormatan sebagai : Bapa Usul Fiqh dan sebagai Nashir ul-Hadits [ Pembela Hadits ] pernah menegaskan:
“ Seseorang tidak boleh memberi fatwa dalam agama Allah (swt) kecuali dia mengetahui keseluruhan Al-Qur’an dan ilmu-ilmunya seperti Nasikh dan Mansukh , ayat Muhkam dan Mutasyabih , Ta’wil dan Tanzil , ayat Makiyah atau Madaniyah. Dia juga perlu mengetahui tentang Hadits-hadits Nabi (sallallahu’alaihi wasallam), serta ilmu-limunya (‘ulumul hadits) seperti Nasikh dan Mansukh, dan lain-lain. Setelah itu, dia juga pelu menguasai Bahasa Arab, Sya’ir-sya’ir Arab, dan Sastera-sasteranya (kerana Al-Qur’an dan Hadits dalam Bahasa Arab dan mengandung kesusasteraannya. Setelah itu, dia juga perlu mengetahui perbedaan Bahasa Arab di kalangan setiap ahli masyarakat Arab. Jika dia sudah menguasai keseluruhan perkara-perkara tersebut, barulah dia layak memberi fatwa mengenai halal dan haram. Jika tidak, dia tidak layak untuk memberi fatwa. “
–> .Al-Faqih wal Mutafaqqih” Al-Khatib Al-Baghdadi. –
As-Sunnah adalah segala ucapan, perbuatan dan sikap diam Rasulullah s.a.w. Rasulullah s.a.w. tidak mengerjakan sesuatu tidak termasuk dalam As-Sunnah.
Dan ditemukan bahwa yang tidak ada dalam As-Sunnah bukanlah sesat, terlarang atau bid’ah, tapi diputuskan melalui ijtihad.
Ketiga = melihat kenyataan hidup.
Akan kita temukan kenyataan hidup bahawa banyak hal dalam kehidupan kita yang tidak dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.
Di antara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. adalah makan nasi, naik kereta, membangunkan menara tinggi dan banyak lagi .
Bila “tidak dilakukan Rasulullah s.a.w. bererti sesat atau bid’ah atau salah” adalah dalil ijmali (berlaku umum pada berbagai hal), maka makan nasi, naik kereta dan membangunkan menara tinggi2 adalah sesat, bid’ah dan salah kerana tidak dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. Benarkah makan nasi haram ?
Bayangkan berapa banyak hal hal lain lagi yang juga tidak dilakukan oleh Rasulullah s.a.w.
Keempat = melihat kaedah usul dan aqidah fiqh
Kita akan temukan bahawa tidak melakukan sesuatu (at-tarku) tidaklah menunjukkan haram (at-tarku la yadullu ‘alat tahrim), bahkan at-tarku tidaklah dipandang sebagai dalil (at-tarku laisa bidalilin).
Yang akan kita temukan sebagai petunjuk atau dalil haram adalah larangan (an-nahyu yadullu ‘alat tahrim atau Al-aslu fin nahyi at-tahrim).
Dengan keempat sudut pandang tersebut, tidak ada satu pun yang mendukung bahwa “Rasulullah s.a.w. tidak melakukannya” sebagai dalil yang menunjukkan itu haram, sesat atau bid’ah”.
Bahkan tidak ada yang mendukung bahwa Rasulullah s.a.w. tidak melakukannya [diamnya] adalah suatu dalil untuk menentukan hukum.
Dengan demikian, mengatakan sesuatu itu haram, sesat atau bid’ah dengan dalil (alasan) bahwa Rasulullah s.a.w. tidak mengerjakannya adalah tidak benar dan tidak memiliki landasan dalam agama.
Wassalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
.
[ رَبَّنَا هَبْ لَنَ مِنْ أَزْوَاجِـنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةً أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ إِمَامًا ]
No comments:
Post a Comment