Menurut Imam Hambali, minima seorang Imam Madzhab itu hafal Al Qur’an dan menguasai 500 ribu hadits. Para Imam Madzhab boleh dikata hidup 2-3 generasi setelah Nabi. Jadi ajaran Islam masih relatif murni. Belum terlalu menyimpang.
Imam Malik adalah Tabi’it tabi’in. Sementara Imam Syafi’ie adalah murid dari Imam Malik dan guru dari Imam Hambali. Imam Syafi’ie hafal Al Qur’an umur 7 tahun. Beliau hafal kitab Hadits Al Muwaththo umur 10 tahun. Diperkirakan menguasai 1 juta lebih hadits yg insya Allah lebih murni daripada sekarang. Dari Al Qur’an dan Hadits yg mereka kuasai serta amal badah dari tabi’in/tabi’it tabi’in itulah mereka menyusun panduan fiqih seperti sekarang.
Jadi kalau 1000 tahun lebih setelah wafatnya Nabi ada yg berusaha melakukan apa yg dilakukan para Imam Mazhab sementara mereka BELUM tentu hafal Al Qur’an dan menguasai lebih dari SATU JUTA hadith dan TIDAK PERNAH melihat amal ibadah para tabi’in/tabi’it tabi’in (Muslim yg hidup 1-2 generasi setelah sahabat Nabi) dan menganggap kelompok mereka lebih “sunnah” dari para Imam Mazhab, itu BOHONG belaka.
Ustaz Wahabi enggan bermazhab
Ustad Salafy enggan bermadzhab
Bahkan banyak para Imam Hadits yang bermadzhab seperti
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Nasa’i
Imam Baihaqi
Imam Turmudzi
Imam Ibnu Majah
Imam Tabari
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani
Imam Abu Daud
Imam Nawawi
Imam as-Suyuti
Imam Ibnu Katsir
Imam adz-Dzahabi
Imam al-Hakim
SEMUANYA bermazhab Mazhab Syafi’ie
http://id.wikipedia.org/
Silsilah Nasab Imam Syafi'i
Jadi keliru sekali jika ada kelompok yang BUKAN PAKAR hadits merasa lebih hebat daripada para pakar hadits di atas dan memilih tidak bermazhab dan mencoba menyusun sendiri Fiqih mereka.
Seringkali orang salah persepsi dalam memandang mazhab fiqih. Seolah mazhab-mazhab itu pecahan umat untuk saling bertentangan dalam segala hal.
Padahal sesungguhnya munculnya mazhab itu boleh dibilang justru sebagai sarana untuk memudahkan umat dalam memahami nash-nash syariah. Sebab tidak semua orang mampu menarik kesimpulan hukum. Tidak semua orang mampu untuk berijtihad sesuai dengan kaidahnya.
Imam Bukhori Bermadzhab Juga
Jangan dikira bahwa mazhab itu hanya untuk orang-orang awam saja, bahkan para ulama besar pun juga bermazhab. Di dalam kitab Al-Imam Asy-Syafi’i bainal mazhabaihil Qadim wal Jadid, Dr. Nahrawi Abdussalam menuliskan bahwa di antara para pengikut mazhab Syafi’i adalah Al-Imam Al-Bukhari, seorang tokoh ahli hadits yang kitabnya tershahih di dunia setelah Al-Quran.
Al-Bukhari memang tokoh ahli hadits dan paling kritis dalam memilih hadits. Namun beliau bukan ahli ijtihad yang mengistimbath hukum sendiri sampai setingkat mujtahid mutlak. Dalam masalah menarik kesimpulan hukum, beliau menggunakan metodologi yang digunakan dalam mazhab Syafi’i. Dengan demikian beliau adalah salah satu ulama besar yang bermazhab, yaitu mazhab Syafii.
Imam Bukhari belajar fiqih Syafi’i dari Imam al Humadi, sahabat Imam Syafi’i yang belajar fiqih kepada Imam Syafi’i ketika berada di Makkah al Mukkaramah.
Imam Abu ‘Ashin al Abbadi dalam kitab ”Thabaqaf”-nya menerangkan bahwa Imam Bukhari juga belajar Fiqih dan Hadits kepada Za’farani, Abu Tsur, dan Al Karabisi, Ketiganya adalah murid Imam Syafi’i.
Di dalam kitab ”Faidur Qadir” syarah Jamius Shagir pada juz I juga diterangkan bahwa Imam Bukhari mengambil fiqih dari al Haimidi dan sahabat Imam Syafi’i yang lain.
Syaikh ad-Dahlawi menyebutkan dalam Al-Inshaf fi Bayani Asbab al-Ikhtilaf “Termasuk kelompok ini (pengikut madzhab Syafi’i) adalah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari. Sesungguhnya beliau termasuk salah satu kelompok pengikut Imam Syafi’i. Di antara ulama yang mengatakan bahwa Imam Bukhari termasuk kelompok Syafi’iyyah adalah Syaikh Tajuddin al-Subki. Beliau mangatakan, ”Imam Bukhari itu belajar agama kepada Imam Syafi’i. Beliau juga berdalil tentang masuknya Imam Bukhari dalam kelompok Syafi’iyyah, sebab Imam Bukhari telah disebut dalam kitab Thabaqat Syafi’iyyah.”
Kerana itu, kebanyakan Ulama menisbatkan beliau kepada madzhab Syafi’i dalam bidang Fiqih.
Ada juga di antara murid mazhab As-Syafi’i yang kemudian naik derajatnya sampai mampu menciptakan metodologi istimbath sendiri, sehingga beliau kemudian mendirikan sendiri mazhabnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Marahkah As-Syafi’i mengetahui muridnya mendirikan mazhab sendiri? Beliau berkomentar, “Aku tinggalkan Baghdad dan tidak ada orang yang lebih faqih dari Imam Ahmad bin Hanbal.”
Kalau saja jumlah nash-nash syariah itu hanya 6.000-an ayat Quran plus 5.000-an hadits shahih Bukhari, tentu saja mudah sekali buat setiap orang untuk beragama. Tetapi ketahuilah bahwa bahwa nash-nash syariat jauh lebih banyak dari semua itu. Al-Quran memang hanya 6.000-an ayat saja, tapi bagaimana dengan hadits nabawi? Apakah hadits itu hanya shahih bila Bukhari saja yang mengatakannya? Tentu saja tidak, sebab imam Bukhari itu hanya satu dari sekian ratus atau sekian ribu muhaddits yang ada di dunia ini. Salah besar bila kita beranggapan hanya hadits Bukhari saja yang benar dan semua hadits selain yang terdapat dalam kitab shahihnya harus ditolak.
Ini baru dari sisi jumlah sumber nash syariah, padahal masalah hukum agama ini tidak semata-mata ditentukan oleh nash-nash saja, namun lebih jauh dari itu, setiap nash itu masih harus diteliti kekuatan derajatnya, lalu dikomparasikan antara satu dengan lainnya.
Mengapa harus demikian?
Sebab begitu banyak nash-nash syariah itu yang sekilas antara satu dengan yang lain saling berbeda, bukan hanya redaksinya tetapi sampai pada masalah esensinya. Bayangkan, ada dua nash yang sama-sama shahih, keduanya tercantum di dalam kitab Shahih Bukhari, tapi yang satu mengatakan haram dan yang lain bilang halal. Kalau sudah demikian, kita akan bilang apa?
Tentu perlu sebuah kajian mendalam dari segala sisi, serta kemampuan khusus dalam melakukannya. Minimal orang yang melakukan kajian ini punya kemampuan untuk berijtihad sampai pada tingkat tertentu. Dan harus ada logika yang kuat untuk bisa mengatakan kesimpulan akhirnya, apakah hukukmnya halal atau haram.
Lalu kepada siapakah kita menyerahkan masalah ini? Adakah suatu dewan pakar yang mau mengerjakanannya dengan teliti, cermat dan lengkap?
Jawabnya, para ulama mazhab-mazhab itulah yang telah berjasa besar untuk melakukan ‘mega proyek’ itu. Dan mereka -alhamdulillah- adalah orang-orang yang shalih, pakar, ahli, jenius serta ikhlas, karena tidak pernah minta bayaran.
Masa perkembangan mazhab-mazhab besar dunia fiqih dimulai pada kira-kira setengah abad setelah kepergian nabi SAW, yaitu sejak tahun 97 Hijriyah. Ditandai dengan kelahiran Imam Mazhab pertama yaitu Abu Hanifah rahimahullah, yang telah berhasil memadukan antara dalil nash Quran dan sunnah sesuai dengan logika nalar hukum. Kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam As-syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Mereka semua adalah guru dari umat Islam, karena merekalah yang telah berjasa melakukan isitmbath hukum dari Al-Quran dan Sunnah,sehingga bisa menguraikan hukum-hukum Islam secara detail, rinci, lengkap, bahkan meliputi semua aspek kehidupan.
Bahkan mereka telah meletakkan dasar-dasar istimbath hukum, yang kemudian menjadi modal sekaligus model bagi seluruh ulama di dunia untuk melakukannya. Nyaris boleh dibilang bahwa tidak ada ulama yang mampu melakukan istimbath hukum yang berbeda, kecuali menggunakan salah satu metode yang telah mereka rintis.
Kerana itulah keempat mazhab mereka tetap bertahan sampai ribuan tahun, bahkan berhasil menjadi sebuah disiplin ilmu yang abadi sepanjang zaman.
Perbezaan Madzhab
Namun yang menarik, meski masing-masing punya metode istimbath hukum yang terkadang berbeda, tetapi sebenarnya hubungan anterpersonal di antara mereka sangat dekat. Jauh dari gambaran sekte-sekte agama Kristen yang justru saling berbunuhan. Mereka justru saling berguru dan saling membangkan guru dan muridnya. Dan yang terpenting, tidak ada satu pun yang melecehkan pendapat guru atau muridnya. Semua sangat menghormati bukan sekedar basa-basi, tapi langsung dari hati.
Adapun perbezaan pendapat di antara mereka memang sangat mungkin terjadi. Bukankah dahulu di masa nabi SAW sekalipun, seringkali para shahabat saling berbeza pendapat dalam menarik kesimpulan hukum. Kurang apa shalihnya para shahabat itu? Tapi urusan berpendapat dalam masalah ijtihad, seorang Umar ra boleh saja tidak sependapat dengan ijtihad nabi Muhammad SAW, kecuali bila wahy yang turun.
Bahkan para nabi utusan Allah, tidak luput dari perbezaan pandangan dalam masalah hukum. Mereka acap kali punya sudut pandang yang berbeza, meski sama-sama menerima wahyu dari Allah.
Termasuk juga para malaikat yang maksum itu, banyak diriwayatkan mereka pun suka berbeza pendapat. Misalnya dalam hal masuk surganya seorang penjahat yang telah membunuh 100 nyawa. Malaikat Rahman ingin membawanya ke syurga, tapi malaikat azab ingin membawanya ke neraka. Malaikat pun boleh berbeza pendapat sesama mereka.
Maka kalau para shahabat mungkin berbeza pendapat, para nabi sering berbeza pendapat, bahkan para malaikat dimungkinkan berbeza pendapat, sangat manusiawi bila para imam mazhab masing-masing punya keistimewaan khas dalam menarik kesimpulan hukum atas jutaan butir nash-nash syariah.
Semua sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan para imam itu, termasuk sosio-kultural mereka, kebiasaan, ketersediaan bahan baku, bahkan hasil-hasil temuan di bidang iptek.
Tidak Ada yang Paling Shohih
Mungkin akan muncul pertanyaan, kalau mazhab-mazhab itu ada dan diakui keberadaannya, lalu manakah yang paling shahih?
Jawabnya kesemuanya shahih, dalam erti kesemuanya merupakan hasil-hasil ijtihad luar biasa para ulama, yang sudah dijamin keabasahannya. Boleh dibilang kesemuanya shohih dan kesemuanya benar. Siapa pun muslim berhak bermazhab dengan salah satu dari mazhab itu, atau mengambil satu pendapat dari sekian banyak pendapat dari masing-masing mazhab.
Kita ibarat masuk ke sebuah Hypermarket raksasa, di mana di dalamnya dipenuhi dengan beragam barang keperluan yang tentunya sudah dipilih . Ada berbagai macam barang dengan berbagai macam jenama dan vendor yang tersedia. Tentu saja semua sudah lulus pilihan dan ujian keselamatan mutu. Masing-masing tentu dengan ciri dan keistimewaan masing-masing. Tinggal selera kita saja yang menentukannya. Dan tidak perlu kita memaksakan selera pribadi kepada orang lain. Sebab lidah tiap orang tidak sama, demikian juga keperluan masing-masing juga tidak sama.
Tapi bagaimana kalau ada mazhab yang kurang shahih atau malah sesat?
Tentu saja secara alami akan tersingkir dari panggung sejarah. Dahulu sebenarnya bukan hanya ada 4 mazhab itu saja, tapi puluhan bahkan lebih banyak lagi. Tapi secara seleksi alam, yang berhasil bertahan hanya 4 mazhab itu saja.
Kalau kita ibaratkan dengan hypermarket tadi, kira-kira konsumer sudah tahu mana produk yang berkualiti dan mana yang hanya ‘kualiti gempak indah khabar rupa' aja. Segera barang yang kurang berkualiti akan tidak laku di pasaran dan akhirnya tidak diproduksi lagi.
Tapi Bolehkah Kita Ganta-ganti Madzhab Atau Mengambil Pendapat Secara Bercampur?
Sebenarnya Rasulullah SAW tidak pernah menetapkan kepada kita bahwa kalau sudah bertanya kepada si A, maka jangan lagi bertanya kepada si B. Perintah beliau adalah bertanyalah kepada orang yang sesuai dengan keahliannya. Meski orang itu ada banyak, tidak jadi soal. Bahkan semakin banyak alternatif jawabannya, semakin baik. Kerana kita boleh melakukan perbandingan atas semua jawaban itu.
Dengan logika hypermart di atas, sangat dibolehkan kita membeli barang dari producer yang berbeza, yang penting sesuai dengan keperluan kita. Tidak ada kewajiban untuk hanya membeli dari satu producer saja.
Meski juga tidak ada larangan seseorang boleh merasa cocok dengan satu jenama dan tidak mau menggantinya dengan jenama lain. Maka mulai dari pakaian, kendaraan, makanan, termasuk alat elektronik miliknya, berasal dari satu producer yang sama.
Maka Islam membolehkan seseorang berpegang pada satu mazhab saja, kalau memang dia rela dan menginginkannya. Tapi jangan sampai selera pribadinya itu dipaksakan kepada orang lain.
Bukankah perbezaan mazhab ini sering jadi faktor pemicu perpecahan?
Alih-alih mensensasikan perbezaan pandangan antar mazhab, kita justru sangat berbahagia dan sangat diuntungkan dengan adanya perbezaan pandangan dari berbagai mazhab.
Sebab dunia Islam itu sangat luas, membentang dari ujung barat Maroko sampai ujung Timur Marauke, pastilah muncul berbagai macam perbezaan keadaan masyarakat. Dan semua itu pasti memerlukan jawaban syariah yang tepat.
Dengan kekayaan khazanah intelektual warisan dari para pendiri mazhab itu, kita dengan mudah boleh menyelesaikan banyak persoalan. Kesemuanya sah dan benar, tinggal menyesaikannya dengan beragam jenis masalah.
Hanya mereka yang terlalu awam dan kurang punya wawasan yang baik, yang mau-maunya bergaduh dengan sesama muslim hanya lantaran perbezaan mazhab. Memang sangat kita sayangkan masih adanya kalangan yang demikian. Misalnya, begitu dia melihat saudaranya shalat tidak sama dengan cara shalatnya, langsung dicaci dan dimakinya, bahkan menuduh ahli bid’ah pun bertubi-tubi dilontarkan kepadanya. Padahal ilmu yang dimiliki hanya terbatas pada satu dua rujukan saja, namun lagak dan gayanya seperti mufti kerajaan. Nauzu billahi min zalik.
Padahal meski seandainya di dunia ini hanya ada satu sumber nash syariah saja, misalnya hanya ada Al-Quran saja, pastilah umat Islam tetap berbeza pendapat dalam menarik kesimpulan hukum.
Padahal kita punya jutaan sumber nash syariah, dengan beragam kemungkinan nilai derajat keshahihannya, dengan beragam kandungan bahannya , dengan beragam redaksinya, semuanya hanya akan sampai kepada satu titik, yaitu perbezaan pendapat.
Kalau setiap perbezaan pendapat harus ditanggapi dengan cacian, makian, tuduhan ahli bid’ah dan seterusnya, ketahuilah bahwa semua itu justru mencerminkan kedangkalan ilmu para pelakunya. Sama sekali tidak menggambarkan keulamaannya.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Source: Ust. Syarwat Lc & Ust. Agus Nizami
No comments:
Post a Comment